Friday, 21 October 2016
Friday, 14 October 2016
HAMBATAN PADA ATMOSFER DAN PENGARUHNYA TERHADAP PENGINDERAAN JAUH
Atmosfer merupakan lapisan udara yang menyelimuti bumi. Atmosfer
akan mempengaruhi penginderaan jauh dalam hal penyerapan, pemantulan,
penghamburan dan melewatkan radiasi elektromagnetik. Proses penghambatan di
atmosfer dapat berbentuk serapan, pantulan dan hamburan. Hamburan adalah
pantulan ke arah serba benda yang disebabkan oleh benda yang permukaannya kasar
dan bentuknya tak menentu. Hamburan terdiri atas:
1)
Hamburan
Reyleigh
Hamburan Reyleigh yaitu hamburan
yang terjadi pada atmosfer Reyleigh. Hamburan ini terisi oleh material maupun
unsur-unsur kimia yang sangat ringan seperti Nitrogen, Oksigen, Gas, Ozon dan
sebagainya. Ini dicirikan dengan warna langit cerah kebiruan. Panjang gelombang
terjadi pada ketinggian 4.500-9.000 dan terjadi gelombang pendek.
2) Hamburan Mie
Hamburan ini terisi oleh material-materil yang diameternya
hampir sama dengan spectrum tampak, karena inti kebiruan ini menempati
lampisan atmosfer yang tersebar dibawah hamburan rayleigh. Hamburan ini terdiri
dari debu, kabut, asap dan sebagainya. Hal ini dicirikan dengan warna langit
yang cerah keputihan. Hamburan terjadi pada ketinggian kurang dari 45.000 m dan
terjadi gelombang panjang.
3) Hamburan Non Selektif
Hamburan ini memiliki diameter material yang lebih besar
dari spectrum tampak dengan material seperti: debu, asap, uap air, CO3, dan
sebagainya. Hamburan ini dicirikan dengan warna langit yang gelap (awan comulonimbus).
Hamburan
ini memliki fungsi yang berbeda tergantung dari unsur kimia atau material yang
dikandungnya. Kandungan material atau unsur kimia tersebut dapat berubah
tergantung kondisi dari permukaan bumi. Bila semakin banyak hamburan non
selektif memungkinkan terjadinya penutupan atmosfer bagian bawah, unsur kimia
mempengaruhi tingkat penyebaran pancaran matahari. Penyebaran hamburan ini
semakin luas akan mendesak hamburan yang lebih ringan, terutama hamburan yang
mengandung unsur karbon.
Meskipun sinar matahari merupakan sumber tenaga utama,
tetapi atmosfer pun mempunyai pengaruh yang sangat besar terhadap penginderaan
jauh. Hal tersebut terjadi karena peran atmosfer terhadap sinar matahari adalah
menyerap, memantulkan, menghamburkan, dan melewatkan radiasi elektromagnetik. Atmosfer
berpengaruh sekali terhadap sinar matahari sehingga banyak bagian yang
spektrumnya tidak dapat digunakan untuk merambatkan panjang gelombang. Bagian atmosfer
yang dapat melankjutkan energi dan dapat ditangkap oleh sensor disebut jendela
atmosfer. Jendela atmosfer ini adalah specktrum kasat mata dari atmosfer yang
mampu melanjutkan energi sampai ke sensor.
Saturday, 8 October 2016
Gambaran Histori Perkembangan Inderaja
Gambaran Histori
Perkembangan Inderaja
Teknologi inderaja dan pemanfaatanya terus berkembang dengan
pesat. Jika dahulu sensor yang di gunakan hanya kamera maka sekarang sudah
banyak jenis sensor lain seperti Scanner, Magnetometer dan Sonar. Dalam
disiplin ilmu geografi dan ilmu-ilmu kebumian yang lain, penggunaan teknik
inderaja mejadi suatu kebutuhan. Hal ini karena citra inderaja dapat menyajikan
gambaran permukaan bumi sacara nyata sehingga semua objek dan fenomena yang ada
di pemukaan bumi terlihat dengan baik namun di batasi oleh ketajaman citra yang
di gunakan. Keadaan ini sangat membantu sekali bagi seorang ahli geografi di
dalam mempelajari objek kajian geografi seperti pola pemukiman, penggunaan
lahan, hidrografi, geologi dan geomorfologi. Bahkan kajian tentang iklim di
atas permukaan bumi.
1.
Perkembangan
Sistem dan Wahana
Penginderaan jauh pada awalnya dikembangkan dari teknik interpretasi foto
udara. Pada tahun 1919 telah dimulai upaya pemotretan melalui pesawat terbang
dan interpretasi foto udara (Howard, 1990). Meskipun demikian, teknik
interpretasi foto udara untuk keperluan sipil (damai) sendiri baru berkembang
pesat setelah Perang Dunia II, karena sebelumnya foto udara lebih banyak
dimanfaatkan untuk kebutuhan militer. Dalam tiga puluh tahun terakhir,
penggunaan teknologi satelit dan teknologi komputer untuk menghasilkan
informasi keruangan (atau peta) suatu wilayah semakin dirasakan
manfaatnya. Penggunaan teknik interpretasi citra secara manual, baik
dengan foto udara maupun citra non-fotografik yang diambil melalui wahana
selain pesawat udara dan sensor selain kamera hingga saat ini telah cukup mapan
dan diakui manfaat dan akurasinya. Di sisi lain, pengolahan atau
pemrosesan citra satelit secara digital telah taraf operasional untuk seluruh
aplikasi di bidang survei-pemetaan.
Hampir bersamaan dengan perkembangan teknik analisis data keruangan melalui
teknologi SIG, kebutuhan akan citra digital yang diperoleh melalui perekaman
sensor satelit sumberdaya pun semakin meningkat. Perolehan data penginderaan
jauh melalui satelit menawarkan beberapa keunggulan dibandingkan melalui
pemotretan udara, antara lain dari segi harga, periode ulang perekaman daerah
yang sama, pemilihan spektrum panjang gelombang untuk mengatasi hambatan atmosfer,
serta kombinasi saluran spektral (band)
yang dapat diatur sesuai dengan tujuan.
Di Indonesia, penggunaan foto udara untuk survei-pemetaan sumberdaya telah
dimulai oleh beberapa lembaga pada awal tahun 1970-an. Pada periode yang
sama, ketika berbagai lembaga di Indonesia masih belajar memanfaatkan foto
udara, Amerika Serikat pada tahun 1972 telah meluncurkan satelit sumberdaya
ERTS-1 (Earth Resources Technology Satellite - 1), yang kemudian diberi
nama baru menjadi Landsat-1. Satelit ini mampu merekam hampir seluruh
permukaan bumi pada beberapa spektra panjang gelombang, dan dengan resolusi
spasial sekitar 80 meter. Sepuluh tahun kemudian, Amerika Serikat telah
meluncurkan satelit sumberdaya Landsat-4 (Landsat-D) yang merupakan satelit sumberdaya
generasi kedua, dengan memasang sensor baru Thematic
Mapper yang mempunyai resolusi yang jauh lebih tinggi daripada
pendahulunya, yaitu 30 meter pada enam saluran spektral pantulan dan 120 meter
pada satu saluran spektral pancaran termal. Pada tahun yang hampir
bersamaan itu pula, beberapa lembaga di Indonesia baru mulai memasang
sistem komputer pengolah citra digital satelit, dan menjadi salah satu negara
yang termasuk awal di Asia Tenggara dalam penerapan sistem pengolah citra
digital. Meskipun demikian, tampak nyata bahwa Indonesia sebagai negara
berkembang cenderung tertinggal dalam pengembangan dan pemanfaatan teknologi.
Memasuki awal sasrawarsa (milenium)
ketiga ini, telah beredar banyak jenis satelit sumberdaya yang
diluncurkan oleh banyak negara. Dari negara maju seperti Amerika Serikat,
Kanada, Perancis, Jepang, dan Rusia, hingga negara-negara besar namun dengan
pendapatan per kapita yang masih relatif rendah seperti India dan Republik
Rakyat Cina. Berbagai satelit sumberdaya yang diluncurkan itu menawarkan
kemam-puan yang bervariasi, dari resolusi sekitar satu meter atau kurang
(IKONOS, OrbView, QuickBird dan GeoEye milik perusahaan swasta Amerika
Serikat), 10 meter atau kurang (SPOT milik Perancis, COSMOS milik Rusia, IRS
milik India dan ALOS milik Jepang), 15-30 meter (ASTER yang merupakan proyek
kerjasama Jepang dan NASA, Landsat 7 ETM+ milik Amerika Serikat, yang
sayangnya mengalami kerusakan sejak tahun 2003), 50 meter (MOS, milik Jepang),
250 dan 500 meter (MODIS milik Jepang) hingga 1,1 km (NOAA-AVHRR milik Amerika
Serikat).
Banyak negara di Eropa, Amerika
Utara, Amerika Latin, Asia, dan bahkan Afrika telah memanfaatkan citra satelit
itu untuk pembangunan, baik dalam pengelolaan sumberdaya maupun mitigasi
bencana alam. Tahun-tahun belakangan ini, negera-negara berkembang
seperti Thailand, Malaysia, Nigeria dan Indonesia pun menyusul untuk
meluncurkan dan mengoperasikan satelit penginderaan jauh berukuran kecil.
Sensor-sensor satelit baru tidak hanya beroperasi pada wilayah multispektral.
Saluran pankromatik dengan resolusi spasial yang lebih tinggi daripada saluran
spektral lain pada sensor yang sama juga dioperasikan oleh berbagai
sistem. Sensor aktif seperti radar juga telah dioperasikan oleh berbagai
satelit seperti JERS (Jepang), ERS dan Envisat (Uni Eropa), Radarsat (Kanada);
sementara sistem sensor aktif berbasis teknologi laser (Lidar) terus
dikembangkan untuk memperoleh informasi ketinggian permukaan kanopi pepohonan
dan ketinggian permukaan tanahnya sekaligus. Sistem satelit Modis,
Envisat dan EO-1 juga mengangkut sensor hiperspektral dengan ratusan saluran
spektral untuk memperoleh informasi yang lebih spesifik mengenai objek,
termasuk komposisi kimia mineral dan spesies organisme.
2. Perkembangan Aplikasi
Penginderaan jauh sekarang tidak hanya menjadi alat bantu
dalam menyelesaikan masalah. Begitu luasnya lingkup aplikasi penginderaan
jauh sehingga dewasa ini bidang tersebut telah menjadi semacam, kerangka
kerja (framework) dalam menyelesaikan
berbagai masalah terkait dengan aspek ruang (lokasi, area), lingkungan
(ekologis) dan kewilayahan (regional). Perkembangan ini meliputi skala
sangat besar (lingkup sempit) hingga skala sangat kecil (lingkup sangat
luas). Gambar 1.4 memberikan deksripsi visual tentang hubungan antara
bidang aplikasi dengan resolusi spasial (kerincian ukuran atau detil informasi
terkecil yang diekstrak) dan resolusi spasial (kerincian informasi dari sisi
frekuensi perekaman atau observasi ulang).
Penginderaan jauh di awal perkembangannya berasosiasi dengan aplikasi militer,
karena gambaran wilayah yang dapat disajikan secara vertikal mampu memberikan
inspirasi bagi pengembangan strategi perang yang lebih efektif daripada
peta. Efektivitas ini khususnya menyangkut pemantauan posisi dan
pergerakan musuh, serta peluang penyerbuan dari titik-titik tertentu.
Kemajuan teknologi pemotretan yang melibatkan film peka sinar inframerah dekat
juga telah mendukung analisis militer dalam membedakan kenampakan kamuflase
objek militer dari objek-objek alami seperti misalnya pepohonan.
Penggunaan teknologi foto inframerah akhirnya juga dimanfa-atkan untuk aplikasi
pertanian, khususnya dalam konteks perkiraan kerapatan vegetasi, biomassa dan
aktivitas fotosintesis, karena kepekaan pantulan sinar inframerah dekat
ternyata berkaitan dengan struktur interal daun dan kerapatan vertikal
vegetasi. Foto udara inframerah juga terbukti efektif pembedaan objek air
dan bukan air, sehingga pemetaan garis pantai pun sangat terbantu oleh
teknologi ini.
Dalam
perkembangan selanjutnya, sensor-sensor ini merambah ke wilayah spektra panjang
gelombang yang lebih luas, seperti misalnya inframerah tengah, jauh dan termal,
serta gelombang mikro. Rambahan ini memerlukan jenis sensor dan detektor yang
berbeda dengan kamera, namun sekaligus memperluas bidang aplikasi penginderaan
jauh, sehingga semakin banyak jenis objek dan fenomena yang dapat dikaji
melalui citra hasil perekaman yang diperoleh. Setiap eksperimen yang
sukses dengan rancangan sensor baru kemudian diuji-cobakan dengan wahana yang
berbeda, untuk kemudian dioperasionalisasikan ke sistem satelit, yang mampu
melakukan perekaman secara kontinyu dan sekaligus memiliki cakupan
global. Berbeda dari pendahulunya yang hanya beroperasi dengan kamera
dengan hasil perekamana berupa citra analog, sensor-sensor baru beroperasi
dengan sistem opto-elektronik yang lebih maju dan citra yang dihasilkan pun
berformat digital. Beda tinggi orbit, kecepatan mengorbit dan sistem
teleskop maupun sistem opto-elektronik detektor akhirnya juga menentukan
resolusi temporal, resolusi spasial serta resolusi spektral data yang
dihasilkan.
3. Pergeseran Penerapan Teknologi dari
Pemerintah ke Swasta
Pada tahun 1994, pemerintah Amerika Serikat mengambil keputusan untuk mengijinkan perusahaan sipil komersial untuk memasarkan data penginderaan jauh resolusi tinggi, yaitu antara 1-4 meter (Jensen, 1996). Hal ini kemungkinan berkaitan dengan berakhirnya era Perang Dingin. Dua perusahaan swasta, yaitu Earth Watch dan Space Imaging segera menanggapi keputusan ini dengan mengeluarkan produk mereka, masing-masing adalah Earlybird dan Quickbird (Earth Watch) dan Ikonos (Space Imaging). Earlybird memberikan resolusi spasial 3 meter untuk citra pankromatik dan 15 meter untuk citra multispektral meskipun proyek ini kemudian gagal; sedangkan Quick Bird dan Ikonos mampu memberikan citra dengan resolusi spasial yang lebih tinggi, yaitu masing-masing 0,6 dan 1 meter untuk pankromatik 2,4 dan 4 meter untuk multispektral. GeoEye saat ini mampu memberikan data pada resolusi sekitar 40 cm, meskipun Pemerin-tah Amerika Serikat membatasi distribusi dan penggunaan citra resolusi spasial tinggi hanya sampai dengan 50 cm.
Pada aras pengguna, semakin banyak
perusahaan swasta yang bergerak di bidang penginderaan jauh. Lingkup
kegiatan ini bukan hanya pada penguasaan pengolahan data awal hingga pemasaran
pada tingkat hulu seperti EOSAT, SpaceImaging dan DigitalGlobe, melainkan juga
penyediaan jasa konsultansi untuk berbagai kegiatan seperti pekerjaan umum, kehutanan,
pembukaan lahan transmigrasi, hingga lahan yasan (real estate).
Pergesaran ini membawa implikasi pada kemampuan akses data penting kewilayahan
yang sebelumnya hanya dikuasai oleh negara (khususnya militer) ke pihak
swasta. Pertukaran dan jual-beli data resolusi tinggi saat ini semakin
sulit untuk diawasi dan diatur oleh negara, mengingat bahwa lalu lintas data
telah dapat dilakukan secara bebas melalui jaringan internet. Banyak
perusahaan pemasaran data satelit sumberdaya dan cuaca dewasa ini menyediakan
fasilitas download data melalui internet.
4. Perkembangan Teknik Analisi
Ø Dari Manual ke Digital
Ketika berbagai negara berkembang masih memiliki akses terbatas ke sistem
komputer untuk pengolahan citra digital, pemanfaatan produk penginderaan
jauh satelit masih berupa citra tercetak (hard copy) yang diinterpretasi secara visual atau manual.
Teknik interpretasi semacam ini telah berkembang pesat dalam penginderaan jauh
sistem fotografik, dan hingga saat ini merupakan teknik yang dipandang mapan.
Prinsip-prinsip interpretasi fotografis dapat diterapkan pada citra satelit
yang telah dicetak, dan memberikan banyak informasi mengenai fenomena spasial
di permukaan bumi pada skala regional. Citra-citra satelit yang telah
tercetak ini memberikan keuntungan terutama dalam hal (a) kemudahan analisis
regional secara cepat (karena dimungkinkannya synoptic overview pada satu lembar citra berukuran 60 km x 60 km
sampai dengan 180 km x 185 km), dan (b) kemudahan pemindahan hasil interpretasi
(plotting) ke peta dasar, karena
tidak memerlukan banyak lembar dengan skala yang berbeda-beda dan mempunyai
distorsi geometri yang relatif lebih rendah dibandingkan foto udara.
Sejalan dengan perkembangan teknologi komputer yang semakin pesat dewasa ini
--di mana banyak perusahaan telah melakukan downsizing
(beralih dari komputer mainframe ke
komputer mini, dan dari komputer mini ke komputer mikro/PC) maka akses berbagai
kelompok praktisi dan akademisi ke otomasi pengolahan citra digital pun semakin
besar. Semakin banyak paket perangkat lunak pengolah citra digital dan
SIG yang dioperasikan dengan PC dan bahkan komputer jinjing (laptop). Di sisi lain, berbagai
jenis PC dan laptop saat ini ditawarkan dengan harga yang semakin murah namun
dengan arsitektur prosesor yang semakin canggih dan kemampuan pengolahan maupun
penyimpanan data yang semakin tinggi.
Teknologi SIG sebenarnya telah dimulai pada akhir
tahun 1960-an, antara lain oleh Tomlinson (Marble dan Pequet, 1990).
Kemudian pada dekade 1970-an beberapa negara bagian di Amerika Serikat telah
memulai untuk menerapkan SIG dalam pengelolaan sumberdaya lahan dan perencanaan
wilayah. Pada sekitar tahun 1979, Jack Dangermond mengawali pengembangan
paket perangkat lunak SIG yang sangat terkenal, yaitu Arc/Info untuk mengisi
pasar komersia (Rhind et al.,
2004). Setelah itu, puluhan --bahkan ratusan macam paket perangkat lunak
SIG, yang sebagian besar di antaranya dioperasikan untuk PC, membanjiri pasar
dunia. Kebutuhan akan fasilitas pengolahan citra digital yang sekaligus
dilengkapi dengan fasilitas SIG telah membuka kemungkinan-kemungkinan baru
dalam analisis data spasial. Sistem pengolah citra satelit dapat
memberikan masukan pada SIG berupa peta-peta tematik hasil ekstraksi informasi
dari citra digital satelit. Di sisi lain, fasilitas analisis spasial dari
SIG mampu mempertajam kemampuan analisis penglohan citra, terutama dalam hal
pemanfaatan data bantu untuk meningkatkan akurasi hasil klasifikasi
multispektral (Jensen, 2005).
Ø Dari Multispektral ke Multisumber
dan Hiperspektral
Pada awal perkembangannya, kamera hanya mampu menghasil-kan foto
hitam-putih. Hal yang sama diberikan oleh foto yang dipasang pada pesawat
udara untuk kebutuhan pengintaian dalam aplikasi miltiter. Kehadiran film
berwarna pun secara cepat berimbas pada penggunaan yang lebih intensif dalam
penginderaan jauh berbasis foto udara. Ketersediaan film inframerah
kemudian mendorong perkembang-an kamera multisaluran (multiband), yang pada
umumnya memuat empat lensa dalam satu badan kamera, dengan kepekaan yang
berbeda-beda untuk wilayah spektral berikut: biru, hijau, merah dan inframerah
dekat. Tahap ini menandai perkembangan sistem pemotretan dari yang
bersifat unispektral (saluran tunggal) dan berjulat spektral lebar –misalnya
dari biru hingga merah— ke sistem pemotretan multispektral.
Analisis visual foto udara pankromatik, baik hitam-putih maupun berwarna pun
kemudian bergeser ke analisis multispektral sederhana, dengan memanfaatkan alat
pemadu warna elektrik seperti additive
colour viewer (ACV).
ACV merupakan suatu antarmuka (interface)
yang dapat digunakan untuk menampilkan diapositif film multispektral dengan
penyinaran warna primer (merah, hijau dan biru) untuk masing-masing
saluran. Melalui teknik ini, empat saluran yang tersedia dalam empat frame diapositif dapat disajikan sebagai
foto udara komposit warna semu atau warna asli, tergantung pada pemilihan
kombinasi sinar merah, hijau dan biru pada diapositif saluran yang
berbeda-beda. Interpretasi visual atas citra analog dilakukan di atas
kaca tempat memproyeksikan sorotan komposit diapositif tersebut.
Dengan tersedianya sistem perekam citra digital, maka citra multispektral pun
diolah dengan komputer, dan setiap kombinasi warna dalam bentuk citra komposit
bisa dihasilkan dengan mudah. Analisis multispektral dapat dilakukan secara
lebih teliti dengan membaca nilai-nilai piksel pada berbagai saluran spektral
secara serentak, untuk diperbandingkan, dikombinasi melalui transformasi,
maupun diekstrak melalui berbagai analisis statistik multivariat yang rumit, di
mana setiap saluran berfungsi sebagai satu variabel informasi spektral.
Dari awal tahun 1970-an hingga saat buku ini ditulis, telah berkembang banyak
metode analisis multispektral, yang dapat dibaca di Adams dan Gilespie (2006),
Liu dan Mason (2008), dan juga Gao (2010).
Kehadiran teknologi informasi spasial melalui SIG telah memperluas jangkauan
analisis citra, sehingga kemudian berkembanglah metode-metode ekstraksi
informasi objek atau fenomena di permukaan bumi dengan memasukkan data yang
bersifat nir-spektral, sepertu misalnya jenis tanah, bentuklahan, kemiringan
lereng, elevasi, dan juga peta-peta berisi objek-objek spasial lain.
Tentu saja, peta-peta ini harus disimpan dan diproses dalam format data
digital. Dengan demikian, perkembangan metode yang sudah berlangsung
sekitar 25 tahun ini kemudian semakin mengarah ke klasifikasi
multisumber. Beberapa tulisan awal yang mengintegrasikan penginderaan
jauh (khususnya pengolahan citra) dan SIG angara lain yang ditulis oleh
Verbyla dan Nyquist (1987), Srinivasan dan Richards (1990), Danoedoro
(1993). Sementara tulisan yang relatif baru untuk topik-topik ini, dengan
teknik-teknik yang juga baru, antara lain bisa dijumpai di Weng (2010).
Perkembangan analisis multispektral juga mengarah ke penambahan jumlah saluran
dan lebar setiap saluran. Sistem hiperspektral mampu mencitrakan fenomena
di permukaan bumi dengan jumlah saluran spektral yang mencapai ratusan dan
dengan lebar setiap saluran yang hanya beberapa nanometer. Analisis citra
semacam ini, yang disebut dengan spectral
cube (kubus spektral) berkembangan dengan pendekatan yang berbeda,
mengingat bahwa metode-metode analisis multispektral tidak akan efisien dari
sisi waktu pemrosesan dan akurasi hasilnya. Tulisan-tulisan van der Meer
dan de Jong (2003) serta Jensen (2007) dapat dijadikan rujukan awal untuk
keperluan ini.
Ø Dari Per-piksel ke Per-objek
Perkembangan sistem penginderaan jauh satelit telah menghasilkan citra-citra digital yang tidak pernah dibayangkan oleh praktisi di tahun 1980-an, yaitu citra multispektral dengan kualitas detil yang mendekati atau bahkan menyamai foto udara. Hal ini tidak lepas dari berakhirnya era Perang Dingin di awal 1990-an dan keputusan Presiden Bill Clinton untuk mengijinkan perusahaan-perusahaan swasta mengoperasikan satelit penginderaan jauh dengan teknoogi satelit mata-mata. Pada tahun 1999 muncullah perusahaan Space Imaging yang meluncurkan satelit Ikonos dengan resolusi spasial hingga 1 meter, disusul oleh Quickbird dengan resolusi spasial hingga 0,6 meter, serta satelit-satelit lain seperti OrbView. Saat ini, satelit GeoEye telah mampu menghasilkan citra digital dengan resolusi spasial sekitar 40 cm, meskipun undang-undang di Amerika Serikat hanya mengijinkan citra tersebut diproses dan digunakan oleh publik pada resolusi spasial 50 cm atau lebih kasar.
Kehadiran citra
resolusi spasial tinggi telah menantang para analis citra untuk mengembangkan
metode ekstraksi informasi tematik yang berbeda dengan klasifikasi
multispektral –yang biasa diterapkan pada citra resolusi spasial menengah dan
rendah. Metode ini dikenal dengan nama klasifikasi berbasis objek (object-based classification). Di
Indonesia, citra resolusi spasial tinggi lebih banyak diperlakukan seperti foto
udara karena para analis mengalami kesulitan dalam menerapkan klasifikasi
multispektral terhadap citra semacam itu. Pada klasifikasi multispektral
citra resolusi tinggi, satu piksel merupakan bagian dari objek penutup lahan
yang umumnya berukuran jauh lebih besar, sehingga hasil klasifikasi cenderung
merupakan kumpulan piksel yang tidak berkaitan langsung dengan kategorisasi
objek yang dikembangkan dalam klasifikasi (Danoedoro, 2006). Untuk
mengatasi masalah ini, dalam kurun 10 tahun terakhir mulai berkembang metode
klasifikasi berbasis objek, yang memanfaatkan teknik segmentasi citra (Baatz
dan Schappe, 2000; Ranasinghe, 2006; Navulur, 2007).
5.
Perkembangan
Inderaja di Indonesia
Teknologi penginderaan jauh satelit telah berkembang melalui
kehadiran berbagai system satelit pengideraan jauh untuk mengindera sumber daya
alam hingga operasional. Kehadiran sejumlah satelit penginderaan jauh mulai
dari satelit sumber daya alam eksperimental hingga operasional dengan berbagai
misi, teknologi sensor (termasuk sensor radar) telah menghasilkan berbagai
jenis data dan informasi mutakhir yang bersifat data spectral, data spasial ,
multi temporal, yang dapat di produksi secara cepat dan akurat. Perkembangan
paket sensor penginderaan jauh yang dipasang pada satelit baik dengan system
aktif ( radar) maupun system pasif (optic) semakin tinggi resolusinya, hal
tersebut yang mendorong Indonesia yang mempunyai wilayah daratan dan lautan
yang sangat luas untuk membangun stasiun bumi satelit penginderaan jauh yang
pertama lembaga penerbangan dan antariksa nasional (LAPAN) (purwadi dan sanyoto
2008 : 40)
LAPAN telah terlibat dalam kegiatan inderaja sejak awal
tahun 1970-an dan menjalani beberapa tahapan perkembangan, antara lain tahap
investigasi (1972-1978), pengkajian (1983-1991) dan operasional ( 1993- sampai
sekarang)
a.
Tahap
invesigasi (1972-1982) yang meliputi
Ø pembangunan stasiun penerima data
APT ( automatic picture transmition) satelit lingkungan dan cuaca NOAA
(national oceania dan atmospheric administration) tahun 1973
Ø pengembangan stasiun buni satelit
lingkungan dan cuaca di Jakarta untuk menerima data HRPT (high resolution
picture transmition) satelit NOAA (1978) dan tahun 1980 stasiun ini diupgrade (
dikembangkan ) kemampuannya untuk menerima data satelit EMS
Ø untuk pemanfaatan selain cuaca,
Indonesia memanfaatkan data airbone( aerial photography, airbone radar dan
lain-lain) serta data satelit dalam bentuk hardcopy yang dipesan dari luar
negeri.
b.
Tahap
pengkajian (1983 – 1993):
Tahun 1983, secara resmi baru dapat menerima lansung data
satelit landsat (MSS) melalui stasiun bumi satelit sumber alam di Pekayon,
Jakarta dan baru dapat mengolah dan melayani permintaan data pada tahun
berikutnya.
c.
Tahap
Operasional (1993 – sekarang):
Stasiun
bumi di atas semuanya dipercayakan pemerintah kepada LAPAN untuk
mengoperasikanya dan keberadaan stasiun bumi adalah untuk kepentingan nasional.
Dari pengalaman operasi penerimaan dan pemanfaatan data satelit-satelit khusus
pengamatan lingkungan dan sumber alam tersebut, dapat dikenali kecenderungan
kebutuhan pengguna terhadap data resolusi tinggi. Untuk itu LAPAN meningkatkan
kemampuan stasiun buminyaagar dapat menerima data resolusi tinggi dari kedua
satelit tersebut. Stasiun bumi in diresmikan oleh presiden Soeharto pada
September 1993 sebagai tanda tahap operasional dalam akuisisi, pengolahan, dan
distribusi data untuk melayani kebutuhan pengguna. Tahap operasional ini
membawa implikasi LAPAN harus senantiasa menjaga kesinambungan operasi pelayanan
kebutuhan pengguna.
Dari
pengalaman operasi stasiun bumi tersebut ternyata terdapat kesulitan memperoleh
data kawasan Indonesia Timur dan beberapa daerah Indonesi yang bebas awan.
Apalagi data SPOT, yang luas cakupanya relative lebih kecil (60 X 60cm) dibandingkan
dengan cakupan landsat, untuk mendapatkan data yang bebas awan jauh lebih
sulit.
Untuk
mengatasi hal tersebut dan untuk malayanipengguna telah dilakukan kegiatan
mozaik data, selain kegiatan mozaik data optis, terutama untuk mendukung
penyediaan data penginderaan jauh kawasan Indonesia Timur, LAPAN secara resmi
menandatangani down link agreewent dengan ESA untuk operasi akuisisi dan
distribusi data ERS-SAR dan melukan pembangunan stasiun penerimaan data JER 5-1
yang diresmikan oleh Menristek B-2. Habibie pada akhir tahun 1995.
(Kartasasmita 2001:13)
Stasiun
Bumi Satelit Penginderaan Jauh yang dioperasikan oleh LAPAN adalah:
1.
Stasiun
bumi satelit pinginderaan jauh dan sumber daya alam berada di Pare pare,
Sulawesi Selatan dengan cakupan rekaman data hamper seluruh wilayah Negara
kesatuan Republik Indonesia.
2.
Stasiun
bumi satelit lingkungan dan cuaca berada di Pekayon Pasar Rebo, Jakarta Timur,
dan di Pulau Biak, Irian Jaya.
3.
Fasilitas
pengolahan dan distribusi data, serta informasi penginderaan jauh satelit di
Pekayon, Pasar Rebo, Jakarta Timur (Purwadhi dan Sanjoto 2008 : 41)
Subscribe to:
Posts (Atom)